kerajinan tangan dari koran bekas, sangat banyak di dunia,tertentu di Sleman.
Sleman – Tak mudah membuat kerajinan tangan dari barang bekas seperti koran. Proses pembuatannya terbilang cukup sulit, karena memerlukan tahapan yang agak rumit. Namun, Briane Novianti mampu bertahan meneruskan usaha kerajinan tangan dari koran bekas. Limbah kertas tersebut diubahnya menjadi berbagai barang seperti sandal, tas, kotak, frame foto, frame kaca, dan berbagai macam suvenir.
Dia mendirikan Dluwang Art pada 2009. Ia mendapat inspirasi dari seorang temannya, Yunas Habibilah, yang sering mengumpulkan kertas HVS saat skripsi. Yunas kemudian membuat kerajinan anyaman dari kertas HVS bekas.
Seorang temannya dari Hawai juga menyarankan Novi membuat kerajinan dari kertas bekas. Hasilnya? Bagus dan ada nilai jualnya. Akhirnya Novi bersama keempat kawannya mencoba untuk membuat kerajinan dari kertas di bawah bendera Dluwang Art. Dluwang yang berarti kertas dalam bahasa Jawa sebagai kegiatan kerajinan tangan dari bahan kertas juga.
Setelah lulus kuliah, empat kawannya melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Novi dengan dibantu seorang temannya, Susilo, melanjutkan usaha ini. “Saya ingin mengampanyekan tentang kepedulian lingkungan dan terus mengajak masyarakat luas untuk perdulikan lingkungan,”.
Tahun 2009 Novi mempromosikan olahan limbah koran dalam sebuah pameran. Ternyata mendapat tanggapan positif dari pengunjung. Novi lalu mengembangkan olahannya menjadi beberapa kerajinan. Pertama kali yang dibuatnya adalah sandal koran. Peminatnya cukup banyak, sehingga lebih ia fokuskan pada pembuatan sandal koran itu. Diikuti dengan berbagai macam tas, frame foto maupun cermin, kemudian beberapa souvenir.
Untuk suvenir dan miniatur, awalnya ada pelajar SMA yang saat itu minta dibuatkan miniatur menara Eifel. Novi pun menyanggupi dan dilanjutkan hingga sekarang. Khususnya miniatur Tugu Jogja, ia buat karena gadis berjilbab ini berasal dari Jogja. Ia ingin menampilkan ikon kota asalnya.
“Terakhir ini yang memesan miniatur dari Palembang ingin dibuatkan jembatan Ampera. Saya pun bisa memenuhinya. Bersama Mas Susilo, saya membuat miniatur ikon Kota Palembang tersebut,” jelasnya.
Proses pembuatannya tidak mudah. Perlu beberapa tahapan hingga membentuk satu produk yang bagus. Ia memberi formula anti air pada pelintingan koran dari bambu hingga finishing, agar produk bertahan lama karena bahan dasarnya dari kertas.
Untuk pelintingan, Novi melibatkan ibu-ibu dan para perajin yang berasal dari Dusun Susukan I, Desa Margokaton, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
“Desa ini menjadi desa binaan di Seyegan, di mana rata-rata pekerjaannya adalah petani. Kami percayakan dan memberi contoh pola yang kami inginkan dengan berbagi ilmu untuk melintir kertas koran yang akan dijadikan kerajinan,” ujarnya. Novi melibatkan 5-6 orang untuk memelintir kertas koran. Pada tahap menjahit dibantu tiga orang. Kemudian untuk tenun ditangani dua orang.
“Dalam memproduksi kerajinan dari koran bekas ini, terutama sandal, kami bekerja sama dengan para perajin untuk barang setengah jadi. Nantinya dibawa ke Dluwang Art untuk finishing dan pemberian formula anti air,” ucapnya.
Untuk sandal koran Novi membuat ukuran 36-45 centimeter yang sebelumnya 31 centimeter. Sekarang sudah ada pemberian warna, tidak monoton warnanya itu-itu saja sama seperti bahan dasarnya. Desain juga sudah bisa ditangani sendiri. Kalau dulu hanya mengikuti model yang ada di pasaran.
Sebagai bahan dasar, kertas koran yang sudah diolah di Desa Seyegan biasanya sudah berbentuk lembaran 10 meter seperti taplak meja. Jadi di Dluwang Art sudah bisa dibuat pola untuk sandal koran dan lainnya.
Sabtu, 24 Februari 2018
Disqus Comments