Pulau Samosir dan Danau Toba merupakan daerah tujuan wisata yang sudah dikenal luas baik dari wisatawan lokal sampai mancanegara. Selain dikenal karena keindahan alam yang menjadi daya tarik pariwisata, masyarakat di Pulau Samosir juga sudah lama dikenal dengan budaya mengukirnya.
Kayu adalah bahan yang banyak digunakan untuk mengukir. Ukiran kayu biasanya diperlukan sebagai alat untuk keperluan adat istiadat atau dimanfaatkan untuk kegiatan ritual. Namun pada saat ini, produk ukiran kayu tersebut sudah dikenal sebagai barang dagangan (souvenir) untuk para turis. Pada tahun 1980-an, produk ukiran dari Pulau Samosir menjadi barang andalan untuk mengangkat nilai-nilai budaya masyarakat setempat.
Usaha kerajinan ukiran kayu kemungkinan dimulai sekitar tahun 1600. Pemasaran produk ukiran kayu khas Samosir ini sangat didukung oleh keindahan Danau Toba, sehingga setiap pengunjung yang datang ke tempat ini selalu membeli cenderamata berupa ukiran kayu. Hal inilah menjadi pendorong berkembangnya industri kerajinan kayu.
Dari segi bahan baku, saat ini tidaklah menjadi persoalan yang cukup serius. Kayu haumbang (Morinda tinctoria) dan suren (Toona sureni) yang biasa digunakan masyarakat masih relatif tersedia di hutan dan atau di kebun masyarakat. Seperti halnya jenis kayu yang digunakan, gaya kerajinan telah memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap pasar.
Model ornamen dan miniatur produk budaya mendominasi produk kerajinan kayu sekarang ini. Akan tetapi model asli yang masih kuno dan etnik tetaplah memiliki pangsa pasar tersendiri terutama dari mancanegara, sehingga memiliki kelangsungan yang cukup jelas.
Pada kondisi pasar mendukung, rata rata ukiran kayu dengan ukuran sedang mampu terjual dengan harga dalam kisaran Rp 250.000, sementara Produk lain seperti ukiran berbentuk perahu berukuran sekitar 0,5 meter bisa terjual berkisar Rp seratusan ribu rupiah.