Kamis, 13 Oktober 2016

Jalan-jalan ke Lombok, Nusa Tenggara Barat, jangan lupa membeli oleh-oleh khas daerah itu berupa tenun songket. Selain menikmati kuliner ayam taliwang plus plecing (kangkung), tenun khas Lombok yang sering disebut songket itu juga layak dibeli untuk dijadikan cindera mata terutama bagi penggemar keindahan kerajinan tangan khas daerah.

Corak warna yang indah dan mencolok menarik perhatian siapapun yang melihat untuk membeli atau setidaknya mengagumi kerajinan tangan tersebut.

Salah satu lokasi terkenal pembuatan songket Lombok adalah di Desa Sukarara, Kabupaten Lombok Tengah, merupakan desa penghasil kerajinan tenun songket Lombok yang terkenal. Lokasinya berada di luar jalur jalan negara, Kecamatan Jonggot, Lombok Tengah.

Desa ini berjarak sekitar 25 km dari kota Mataram. Disarankan, bila berkunjung ke desa ini sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi atau sewaan, mengingat angkutan umum jarang ada.

Tenun songket merupakan kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan dengan hiasan-hiasan dari benang sintetis berwarna emas, perak, dan warna lainnya. Hiasan itu disisipkan di antara benang lusi. Terkadang hiasannya dapat berupa manik-manik, kerang, maupun uang logam.

Ada banyak toko penjual songket yang ada di Desa Sukarara dan terserah pengunjung ingin datang ke took yang mana. Saat pengunjung tiba di toko maka akan disambut enam perempuan berpakaian adat Sasak. Mereka dengan sigap mendemonstrasikan keterampilan mereka dalam menenun.

Beberapa toko biasanya menyuguhkan tontonan teknik-teknik menenun kain songket sehingga dapat langsung dilihat oleh para pengunjung.

Teknik-teknik tersebut merupakan teknik tradisional sederhana yang masih dilakukan oleh pengrajin, yakni mulai dari mengolah benang (menggunakan pemberat yang diputar-putar dengan jari-jari tangan, pemberat tersebut berbentuk seperti gasing terbuat dari kayu), hingga menjadi selembar kain yang berwarna warni. Pengunjung yang berminat pun dapat turut serta mencoba menenun seperti perempuan-perempuan sasak itu.

Bahan membuat benang selain kapas, antara lain juga kulit kayu, serat pisang, serat nanas, daun palem. Pembuatan zat warnanya terdiri dari dua warna biru dan merah. Warna biru didapatkan dari indigo atau Mirinda Citrifonela atau mengkudu. Selain itu ada pewarna dari tumbuhan lain seperti kesumba (sono keling).

Kain tenun rata-rata dikerjakan di rumah. Hampir setiap rumah memiliki alat tenunnya sendiri. Namun, profesi penenun hanya dilakoni oleh kaum perempuannya saja, sedangkan para pria bekerja sebagai petani di sawah.

Lalu Mamik, seorang pemandu wisata, mengatakan ada tradisi unik terkait songket ini, kaum perempuan yang ingin menikah diwajibkan untuk memberikan kain tenun buatannya sendiri kepada pasangannya.

Apabila belum mampu membuat tenun songket, maka perempuan tersebut belum boleh menikah. Namun, bila nekat ingin menikah juga, maka perempuan tersebut akan dikenakan denda. Denda dapat berupa uang maupun hasil panen padi.

Motif-motif songket yang ditawarkan pun sangat beragam, antara lain motif ayam, motif kembang delapan, motif kembang empat, motif begambar tokek yang merupakan simbol keberuntungan, motif pakerot yang berbentuk horizontal, motif trudak yang berwarna violet, dan masih banyak lagi. Masing-masing motif memiliki maknanya sendiri-sendiri.

Astuti (29) , salah seorang penenun, mengatakan dirinya sudah belajar menenun sejak usia 12 tahun yang diajarkan oleh ibunya.

Semula dia menenun hanya untuk mengisi waktu luang serta membantu meringankan pencaharian pendapatan ayahnya yang seorang petani.

Seiring dengan berjalannya waktu dan saat menikah profesi tersebut ditekuni hingga sekarang yang bermanfaat juga membantu pendapatan suaminya.

Astuti mengaku, memiliki keasyikan tersendiri saat menenun kain songket karena selain bisa menyalurkan hobinya juga bisa melakukan sesuatu menghasilkan uang untuk rumah tangganya.

Dia tak selalu menenun di toko tempat dia bekerja tapi seringkali menyelesaikan tenunan di rumahnya sambil menjaga anaknya yang berusia delapan tahun serta menjaga rumahnya.

Menurutnya, wanita usia sebayanya yang ada di desa Sukarara tak semuanya menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga dan menenun. Banyak di antaranya yang memilih melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan bekerja di kantor yang ada di NTB maupun provinsi lain.

Saat ini sudah banyak wanita yang tak berminat lagi berprofesi sebagai penenun kain songket dan memilih pekerjaan lain dengan menempuh pendidikan lebih tinggi, dengan alasan ingin memperbaiki ekonomi.

Lama pembuatan satu lembar kain songket bervariasi, ada yang hanya tiga hari, seminggu, tiga minggu, satu bulan, dua bulan, hingga tiga bulan.

Sebentar atau lamanya pembuatan songket tergantung dengan banyak tidaknya corak warna serta tingkat kesulitan motif yang ditenun. Makin banyak corak warna dan makin banyak motif yang ditenun maka akan makin lama proses penyelesaiannya.

Kain songket yang selesai ditenun selanjutnya disalurkan ke toko tempat dia bekerja atau yang bersedia untuk menampungnya dan selanjutnya dipajang di toko untuk dijual.

Harga kain songket yang dijual pun bervariasi ada yang Rp25.000 per lembar hingga puluhan juta rupiah tergantung dengan tingkat kesulitan motif, warna, serta jenis benang yang digunakan.

Pada libur panjang biasanya desa tersebut dipenuhi oleh pengunjung baik yang datang dari daerah sekitar dan dari provinsi lain sehingga menimbulkan kemacetan karena banyaknya kendaraan bermotor seperti mobil dan bis parkir di tepi jalan.

[sc name="shop-url" url="http://google.com"]
Disqus Comments