Rabu, 20 September 2017

Seniman Pembuat Seni Penampilan #makanmayit di Polisikan

Kontroversi karya seni Little Shop of Horror, yang populer dengan #makanmayit karya Natasha Gabriella Tontey memasuki babak baru dengan dilayangkannya surat panggilan kepada sang seniman oleh Polda Metro Jaya.
Karya yang ditampilkan pada tanggal 25 Februari di Kemang, Jakarta, itu telah mengundang rangkaian kontroversi, terutama dengan diunggahnya foto-foto karya tersebut di berbagai media sosial.

[caption id="attachment_4412" align="alignnone" width="624"]makanmayit poster poster event little shop of horrors[/caption]

Bahkan di situs petisi online change.org, muncul Petisi #ProtesMakanMayit yang mempersoalkan ketiadaan kepekaan sosial serta ketidakpantasan estetika karya seni itu untuk ditampilkan di ruang publik.
Selain menentang acara pertunjukan seni itu sendiri, petisi ini juga memprotes penyebaran informasinya, terutama oleh orang-orang berpengaruh di jagat media sosial.

"Karena posisi sosial mereka yang dapat mempengaruhi masyarakat, khususnya para followers/pengikut mereka yang tidak mengenal batasan usia," tulis petisi tersebut.

karya seni makanmayit petisi

[caption id="attachment_4411" align="aligncenter" width="624"]karya seni makanmayit petisi Paraf petisi Event #makanmayit[/caption]

Pengunggahan di media sosial ini menyebabkan Kement "mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menyebarluaskan kembali karya seni ini di media sosial".

Dalam pernyataan pers di situs resmi kementrian, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise menyatakan karya seni itu tidak mencerminkan keindahan, malahan "melanggar norma kesusilaan, kepatutan, dan agama".

Berdasarkan penyebaran di media sosial, Polda Metro Jaya melayangkan surat panggilan kepada Gabriella Tontey pada tanggal 28 Februari untuk diperiksa terkait karya tersebut.
Surat panggilan itu masih merupakan surat permintaan klarifikasi, dan belum ada status apa pun yang dikenakan terhadap Tontey.

"Jadi tahapannya masih penyelidikan dan belum ada tindak pidana," kata Pratiwi Febry, pengacara publik yang mengikuti perkembangan kasus ini.
Penyelidikan itu sendiri dilakukan dalam konteks UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik atau yang dikenal dengan UU ITE.

Namun menurut Pratiwi, yang akrab dipanggil Tiwi ini, Tontey sendiri tidak termasuk yang melakukan penyebaran karya seni itu melalui media sosial.
"Pihak lain lah yang menyiarkan pertunjukan yang dilakukan oleh Tontey melalui akun media sosial mereka," katanya.

Dapat Tekanan publik
Sekalipun kasus ini belum mengarah pada tindak pidana, Pratiwi yang juga aktivis koalisi untuk kebebasan berekspresi menyangkan adanya pemanggilan seperti ini.

"Ini bukan pertama kalinya terjadi, dan kecenderungannya semakin naik. Ini bisa mengganggu kreativitas seniman dan membahayakan untuk demokrasi," kata Tiwi.

Tiwi menyebut bahwa peningkatan ini terjadi bukan karena peningkatan kualitas penyelidikan kasus ini oleh kepolisian, tetapi karena adanya opini publik, terutama di media sosial.
Ini juga ditambah lagi dengan perubahan di kepolisian. "Jika tadinya cyber crime posisnya sub-direktorat, kini menjadi direktorat," kata Tiwi.

Dengan perkembangan ini, Tiwi menyarankan agar masyarakat mendorong adanya revisi di UU ITE agar tidak lagi menjadi sarana pengekangan kebebasan berekspresi.

 
Disqus Comments